Jumat, 05 November 2010
1
A. Sekilas Tentang Daerah Kuantan Sengingi
Kabupaten Kuantan Singingi atau sekarang lebih dikenal dengan singkatan Kuansing, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Riau, Indonesia. Kabupaten Kuansing disebut pula rantau Kuantan, atau sebagai daerah perantauan orang-orang dari Minangkabau. Dalam kehidupan sehari-hari, adat istiadat serta bahasa Minangkabau digunakan oleh masyarakat Kuansing. Ibukota kabupaten ini adalah Taluk Kuantan. Kabupaten Kuantan Singingi berada dibagian selatan Propinsi Riau dan terletak pada jalur tengah lintas Sumatera. Kabupaten Kuantan Singingi merupakan pemekaran dari kabupaten Indragiri Hulu yang dibentuk berdasarkan UU No. 53 tahun 1999, tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Siak, Natuna, Karimun, Kuantan Singingi dan Kota Batam. Kabupaten Kuantan Singingi terdiri dari 12 (dua belas) kecamatan dengan luas wilayah 7,656,03 km².
Terdapat 2 (dua) sungai besar yang melintasi wilayah Kabupaten Kuantan Singingi yaitu Sungai Kuantan atau yang sekarang bernama Sungai Indragiri dan Sungai Singingi. Peranan sungai tersebut sangat penting terutama sebagai sarana transportasi, sumber air bersih, budi daya perikanan dan dapat dijadikan sumberdaya buatan untuk mengahasilkan suplai listrik tenaga air. Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Kuantan mengaliri 9 (sembilan) kecamatan yaitu Kecamatan Hulu Kuantan, Kecamatan Kuantan Mudik, Kecamatan Gunung Toar, Kecamatan Kuantan Tengah, Kecamatan Benai, Kecamatan Pangean, Kecamatan Kuantan Hilir, Kecamatan Inuman dan Kecamatan Cerenti. Di batang Kuantan (aliran sungai Kuantan) inilah kebudayaan pacu jalur dilaksanakan.
Pacu Jalur adalah salah satu Even Wisata Kebanggaan Provinsi Riau, khususnya Kabupaten Kuantan Singingi. Ada yang mengatakan Pacu Jalur ini sama dengan dengan Even Wisata Dayung Perahu Naga. Itu salah besar. Kalau miriup mungkin iya. Karena Pacu Jalur mempunyai keunikan tersendiri. Dimulai dari mencari pohon besar untuk perahu, pembuatannya sampai kegelanggang pacu. Inilah daya tarik even wisata tradisional yang mendunia. Setiap even Pacu Jalur ini dihelat ada saja peserta dari luar negeri yang turut serta. Berikut ini paparan tentang Pacu Jalur, dimulai dari asal usul, pembuatan sampai ke tata cara perlombaanya.
2
A. Sejarah Pacu Jalur
Kuantan Singingi adalah sebuah daerah yang banyak memiliki sungai. Kondisi geografis yang demikianlah membuat sebagian besar masyarakat kuansing memerlukan jalur sebagai alat transportasi. Kemudian, muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya. Selain itu, ditambah lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri). Perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan identitas sosial. Sebab, hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu. Perkembangan selanjutnya (kurang lebih 100 tahun kemudian), jalur tidak hanya berfungsi sebagai alat transportasi dan simbol status sosial seseorang, tetapi diadu kecepatannya melalui sebuah lomba. Dan, lomba itu oleh masyarakat stempat disebut sebagai “Pacu Jalur”.
Pada awalnya pacu jalur diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri, atau Tahun Baru 1 Muharam. Ketika itu setiap perlombaan tidak selalu diikuti dengan pemberian hadiah. Artinya, ada kampung yang menyediakan hadiah dan ada yang tidak menyediakannya. Lomba yang tidak menyediakan hadiah diakhiri dengan acara makan bersama. Adapun jenis makanannya adalah makanan tradisional setempat, seperti: konji, godok, lopek, paniaran, lida kambing, dan buah golek. Sedangkan, lomba yang berhadiah, penyelenggara mesti menyediakan empat buah marewa yang ukurannya berbeda-beda. Juara I memperoleh ukuran yang besar dan juara IV memperoleh ukuran yang paling kecil. Namun, dewasa ini hadiah tidak lagi berupa marewa tetapi berupa hewan ternak (sapi, kerbau, atau kambing).
Ketika Belanda mulai memasuki daerah Riau (sekitar tahun 1905), tepatnya di kawasan yang sekarang menjadi Kota Teluk Kuantan, mereka memanfaatkan pacu jalur dalam merayakan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina yang jatuh pada setiap tanggal 31 Agustus. Akibatnya, pacu jalur tidak lagi dirayakan pada hari-hari raya umat Islam. Penduduk Teluk Kuantan malah menganggap setiap perayaan HUT Ratu Wilhelmina itu sebagai datangnya tahun baru. Oleh karena itu, sampai saat ini masih ada yang menyebut kegiatan pacu jalur sebagai pacu tambaru. Kegiatan pacu jalur sempat terhenti di zaman Jepang. Namun, pada masa kemerdekaan pacu jalur diadakan kembali secara rutin untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia (17- Agustus).

B. Pemain Pacu Jalur
Pacu jalur hanya dilakukan oleh para laki-laki yang berusia antara 15-40 tahun secara beregu. Setiap regu jumlah anggotanya antara 40-60 orang (bergantung dari ukuran jalur). Anggota sebuah jalur disebut anak pacu, terdiri atas: tukang kayu, tukang concang (komandan, pemberi aba-aba), tukang pinggang (juru mudi), tukang onjai (pemberi irama di bagian kemudi dengan cara menggoyang-goyangkan badan) dan tukang tari yang membantu tukang onjai memberi tekanan yang seimbang agar jalur berjungkat-jungkit secara teratur dan berirama. Selain pemain, dalam lomba pacu jalur juga ada wasit dan juri yang bertugas mengawasi jalannya perlombaan dan menetapkan pemenang.

C. Tempat Permainan Pacu Jalur
Pacu jalur biasanya dilakukan di Sungai Batang Kuantan. Sebagaimana telah dikatakan di atas, Sungai Batang Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu dan Kecamatan Cerenti di hilir, telah digunakan sebagai jalur pelayaran jalur sejak awal abad ke-17. Dan, di sungai ini pulalah perlombaan pacu jalur pertama kali dilakukan. Sedangkan, arena lomba pacu jalur bentuknya mengikuti aliran Sungai Batang Kuantan, dengan panjang lintasan sekitar 1 km yang ditandai dengan tiga tiang pancang.

D. Peralatan Permainan Pacu Jalur
Peralatan permainan dalam pacu jalur, tentu saja adalah jalur yang dibuat dari batang kayu utuh, tanpa dibelah-belah, dipotong-potong atau disambung-sambung. Panjang jalur antara 25-30 meter, dengan lebar ruang bagian tengah 11,25 meter. Bagian-bagian jalur terdiri atas: (1) luan (haluan); (2) talingo (telinga depan); (3) panggar (tempat duduk); (4) pornik (lambung); (5) ruang timbo (tempat menimba air); (6) talingo belakang; (7) kamudi (tempat pengemudi); (8) lambai-lambai/selembayung (pegangan tukan onjor); (9) pandaro (bibit jalur); (10) ular-ular (tempat duduk pedayung); (11) selembayung (ujung jalur berukir); dan (13) panimbo (gayung air). Jalur dilengkapi pula dengan sebuah dayung untuk setiap pemain.
Bagian selembayung dan pinggir badan jalur biasanya berukir dan diberi warna semarak. Motifnya bermacam-macam seperti: sulur-suluran, geometris, ombak, buruk dan bahkan pesawat terbang. Tiap-tiap jalur mempunyai nama seperti: Naga Sakti, Gajah Tunggal, Rawang Udang, Kompe Berangin, Bomber, Pelita, Orde Baru, Raja Kinantan, Kibasan Nago Liar, Singa Kuantan Sungai Pinang, Dayung Serentak, Keramat Jati, Panggogar Alam, Tuah di Kampuang Godang di Rantau, Ratu Dewa dan lain-lain. Tujuan dari pengukiran, pewarnaan dan pemberian nama pada setiap jalur tersebut adalah agar dapat “tampil beda” dari yang lain.
Untuk dapat membuat sebuah jalur-lomba yang biasanya mewakili desa, kecamatan atau kabupaten, harus melalui proses yang cukup panjang dan melibatkan banyak orang. Sebagai suatu proses, tentunya pembuatan jalur dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.
Berikut ini adalah tahap-tahap yang mesti dilakukan dalam upacara pembuatan sebuah perahu yang oleh orang Kuantan Singingi disebut jalur.
1. Membuat Jalur (membuat perahu / sampan).
Pekerjaan membuat jalur tentulah tidak dapat dilakukan satu atau dua orang, melainkan memerlukan beberapa orang yang ahli dengan bantuan masyarakat, karena jalur yang dibuat adalah dalam ukuran besar, panjangnya 25-30 meter yang akan didayung oleh 50-60 orang.
Hal pertama yang dilakukan adalah menyusun rencana pembuatan jalur melalui musyawarah atau rapek kampung yang dihadiri oleh berbagai unsur seperti pemuka adat, cendekiawan, kaum ibu dan pemuda. Rapat ini biasanya dipimpin oleh seorang pemuka desa atau pemuka adat. Bila kesepakatan telah dicapai, maka kegiatan selanjutnya adalah memilih jenis kayu. Pohon yang dicari adalah banio atau kulim kuyiang yang panjangnya antara 25-30 meter dengan garis tengah antara 1½-2 meter atau yakni pohon kayu besar sekitar empat pemeluk (antara 45 meter lingkaran batangnya) diatur oleh seorang Paktuo dan Dukun Kayu. Kedua jenis pohon tersebut disamping kuat, tahan air, juga dipercayai ada “penunggunya”. Setelah pohon yang memenuhi persyaratan ditentukan, maka penebangan pun dilakukan. Akan tetapi, sebelumnya diadakan semacam upacara persembahan kepada “penunggu” pohon agar pohon itu tidak hilang secara gaib.
Setelah kayu didapat, pekerjaan berikutnya adalah upacara menobang (menebang) kayu yang diawali dengan malembe, yakni membaca doa dan mantra supaya pekerjaan itu berjalan lancar. Selesai itu barulah kayu mulai dicatuk, mulai dilukai. Catukan (kepingan kayu) diambil dan disimpan yang akan dipergunakan sebagai obat jika ada diantara pekerja pembuat jalur sakit. Setelah kayu ditebang dan dibersihkan, barulah pekerjaan membuat jalur dimulai dengan dipimpin oleh seorang Tukang Tuo, dibantu oleh Tukang Pengapik sebanyak dua atau tiga orang serta anggota masyarakat lainnya yang mau membantu dan pandai bertukang.
2. Menarik Jalur.
Jalur baru siap separuhnya itu ditarik ke kampung dengan upacara khusus yang disebut menarik jalur. Jalur ditarik dengan mempergunakan rotan manau. Pekerjaan menarik (menghelo) jalur ini dilakukan oleh kaum laki-laki, sedangkan wanitanya menyediakan makanan. Pada waktu itulah para pemuda dan pemudi dapat berdampingan bersenda gurau sambil ajuk mengajuk hati masing-masing. Bahkan, tidak jarang para pemuda turut pula menarik/menghelo jalur berdekatan dengan sang pemudi impiannya. Menarik jalur dari rimba ke kampung adalah pekerjaan yang tidak ringan, bukan saja karena jalur itu sangat berat tetapi jarak yang ditempuh cukup jauh, yakni lebih kurang sepuluh (10) kilometer.
3. Mendiang Jalur (memanggang Jalur).
Setelah jalur selesai dua pertiga, maka jalur itu perlu pula didiang (dipanaskan dengan api). Pekerjaan itupun dilakukan dengan upacara khusus pula dan dimeriahkan dengan berbagai atraksi kesenian masyarakatnya seperti : tari-tarian, bekayat nandong, gondang berogung dan lain sebagainya.
4. Menurunkan Jalur
Dalam menghadapi acara Pacu Jalur, Paktuo lah yang mengatur dan mempersiapkan segala kelengkapannya termasuk menentukan orang-orang yang turut berpacu di dalam jalur itu. Setelah semuanya siap, ditentukanlah ketika yang baik untuk menurunkan jalur itu ke sungai Kuantan. Pada hari dan ketika yang baik menurut dukun, jalurpun diturunkan beramai-ramai, kemudian diceburkan ke air.

E. Aturan Permainan Pacu Jalur
Pacu jalur dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu: (1) pacu antar banjar atau dusun; (2) pacu antardesa atau kelurahan; (3) pacu antar kecamatan yang ada di wilayah Kuantan Sengingi; dan (4) yang paling bergengsi adalah pacu jalur umum yang boleh diikuti oleh siapa saja dan dari daerah mana saja hingga keluar negeri seperti Malaysia. Aturan dalam ketiga tingkatan perlombaan pacu jalur tersebut tergolong mudah, yaitu regu jalur yang dapat mencapai garis finish terlebih dahulu dari regu lain, dinyatakan sebagai pemenangnya. Pertandingan pacu jalur biasanya dilakukan dengan dua sistem yaitu: setengah kompetisi dan sistem gugur untuk menentukan pemenang pertama hingga keempat dan sepuluh besar.
F. Jalannya Permainan Pacu Jalur
Perlombaan, baik antardusun, antardesa, maupun antarkecamatan, diawali dengan membunyikan meriam. Meriam digunakan karena apabila memakai peluit tidak akan terdengar oleh peserta lomba, mengingat luasnya arena pacu dan banyaknya penonton yang menyaksikan perlombaan. Pada dentuman pertama jalur-jalur yang telah ditentukan urutannya akan berjejer di garis start dengan anggota setiap regu telah berada di dalam jalur. Pada dentuman kedua, mereka akan berada dalam posisi siap (berjaga-jaga) untuk mengayuh dayung. Dan, setelah wasit membunyikan meriam untuk yang ketika kalinya, maka setiap regu akan bergegas mendayung melalui jalur lintasan yang telah ditentukan. Sebagai catatan, ukuran dan kapasitas jalur serta jumlah anak pacunya (peserta) dalam lomba ini tidak dipersoalkan, karena ada anggapan bahwa penentu kemenangan sebuah jalur lebih banyak ditentukan dari kekuatan magis yang ada pada kayu yang dijadikan jalur dan kekuatan kesaktian sang pawang dalam “mengendalikan” jalur.
Dalam pertandingan jalur, apabila menerapkan sistem gugur, maka peserta yang kalah tidak boleh turut bermain kembali. Sedangkan para pemenangnya akan diadu kembali untuk mendapatkan pemenang utama. Namun apabila menggunakan sistem setengah kompetisi, setiap regu akan bermain beberapa kali dan pada akhirnya regu yang selalu menang hingga perlombaan terakhir akan menjadi juaranya.
G. Penonton Pacu Jalur
Kegiatan Pacu Jalur merupakan pesta rakyat yang terbilang sangat meriah. Bagi para wisatawan yang berkunjung ke acara ini dapat menyaksikan kemeriahan festival yang merupakan hasil karya masyarakat Kuantan Singingi ini. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Pacu Jalur merupakan puncak dari seluruh kegiatan, segala upaya, dan segala keringat yang mereka keluarkan untuk mencari penghidupan selama setahun. Pendeknya, Pacu Jalur selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Masyarakat Kuantan Singingi dan sekitarnya tumpah ruah menyaksikan acara yang ditunggu-tunggu ini. Karena meriahnya acara ini, konon beredar cerita, bahwa sepasang suami istri harus rela bercerai jika salah satu pasangannya dilarang mendatangi acara tersebut.
Selain sebagai event olahraga yang banyak menyedot perhatian masyarakat, festival Pacu Jalur juga mempunyai daya tarik magis tersendiri. Festival Pacu Jalur dalam wujudnya memang merupakan hasil budaya dan karya seni khas yang merupakan perpaduan antara unsur olahraga, seni, dan olah batin. Namun, masyarakat sekitar sangat percaya bahwa yang banyak menentukan kemenangan dalam perlombaan ini adalah olah batin dari pawang perahu atau dukun perahu. Keyakinan magis ini dapat dilihat dari keseluruhan acara ini, yakni dari persiapan pemilihan kayu, pembuatan perahu, penarikan perahu, hingga acara perlombaan dimulai, yang selalu diiringi oleh ritual-ritual magis. Pacu Jalur dengan demikian merupakan adu/unjuk kekuatan spiritual antar-dukun jalur. Selain perlombaan, dalam pesta rakyat ini juga terdapat rangkaian tontonan lainnya, di antaranya Pekan Raya, Pertunjukan Sanggar Tari, pementasan lagu daerah, Randai Kuantan Singingi, dan pementasan kesenian tradisional lainnya.
3
A. Nilai Budaya Pacu Jalur
Nilai budaya yang terkandung dalam pacu jalur adalah: kerja keras, ketangkasan, keuletan, kerja sama dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari semangat para pemain yang berusaha agar jalurnya dapat mendahului jalur regu lain. Nilai ketangkasan dan keuletan tercermin dari teknik-teknik yang dilakukan oleh anggota sebuah regu dalam menjalankan jalur agar dapat melaju dengan cepat dan tidak tenggelam. Nilai kerja sama tercermin dari anggota regu yang berusaha bersama-sama mengendalikan jalur agar dapat melaju cepat dan memenangkan perlombaan. Nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada.



DAFTAR PUSTAKA
Tim Koordinasi Siaran Dierktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Hkasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://maklung.wordpress.com// Pacu Jalur//Sun Mar 01, 2009 3:50 pm
http://www.wisatamelayu.com//Wisata Pacu Jalur // Senin, 16 Agustus 2010 12:09

0 komentar:

Posting Komentar